RameNews, Bandung — Dua wajah baru resmi terpilih sebagai simbol budaya dan pariwisata Kota Bandung tahun 2025. Mereka adalah Assyifa Shandi Gunawan dan Muhammad Mifftah Fauzan, yang dikukuhkan sebagai Mojang dan Jajaka Kota Bandung 2025 dalam malam puncak Pasanggiri Mojang Jajaka (Moka) di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink, Jumat malam (10/10/2025).
Ajang bergengsi ini bukan sekadar kompetisi paras dan penampilan, tetapi wadah bagi generasi muda untuk menunjukkan intelektualitas, kepribadian, serta rasa cinta terhadap budaya Sunda.
Sorotan lampu, gemuruh tepuk tangan, dan nuansa elegan mengiringi momen lahirnya dua duta baru yang akan membawa nama Bandung ke kancah nasional bahkan internasional.
Farhan: “Ini Bukan Sekadar Kontes, Tapi Regenerasi Budaya”
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan hadir langsung dalam acara tersebut dan menegaskan bahwa Pasanggiri Moka bukan ajang kecantikan, tetapi proses pendidikan karakter.
“Ini bukan kontes siapa yang paling cantik atau tampan. Ini tentang siapa yang punya wawasan, kepedulian, dan kebanggaan sebagai orang Sunda,” ujar Farhan dengan nada penuh semangat.
Ia juga menegaskan bahwa Oktober bukan sekadar bulan biasa, melainkan bulan kebangkitan kebudayaan Bandung, di mana seni dan kreativitas muncul di berbagai penjuru kota — dari panggung musik metal di Ujungberung, festival jazz di pusat kota, hingga malam budaya seperti Pasanggiri ini.
Baca juga: MAN 2 Kota Malang Borong Medali Emas OSN 2025
“Bandung selalu punya warna sendiri. Dari musik jalanan sampai panggung mewah, semuanya adalah ekspresi budaya yang hidup,” tambahnya.
Bagi Farhan, semangat ini sejalan dengan identitas Bandung sebagai “The Capital of Asia and Africa” — kota yang berani memadukan pesona lokal dengan semangat global.
“Kami ingin anak-anak muda Bandung menjadi wajah baru kota ini — bukan hanya berprestasi di panggung, tapi juga membawa budaya Sunda ke dunia luar,” tegasnya.
Tema “Pan Rona Bandung”: Pesona Warna dan Karakter Kota
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung Adi Junjunan Mustafa menjelaskan, tahun ini Pasanggiri mengangkat tema “Pan Rona Bandung”, berasal dari kata pancar (memancar) dan rona (warna).
“Pan Rona Bandung menggambarkan betapa berwarnanya kota ini — dari masyarakatnya yang kreatif, budayanya yang beragam, hingga semangat anak mudanya yang selalu memancar,” tutur Adi.
Tema ini menjadi ajakan agar warga Bandung lebih mengenal kotanya sendiri, bukan hanya lewat wisata dan kuliner, tetapi melalui jiwa budaya, sejarah, dan gaya hidupnya.
Tonton juga: Soekarno Sang Maha Pecinta
“Kami mencari sosok yang bukan hanya menarik, tapi juga cerdas, komunikatif, dan punya semangat mempromosikan Bandung ke dunia luar,” katanya.
20 Finalis, 2 Wajah Baru untuk Bandung
Proses pemilihan Mojang dan Jajaka Bandung tahun ini tidak mudah. Selama hampir tiga bulan, para peserta melewati serangkaian tahap yang ketat: mulai dari seleksi administrasi, pembekalan, sesi karantina di Telkom Corporate University, Bandung Rakuten Hub, hingga pelatihan intensif di HARRIS Hotel.
Mereka diuji tidak hanya dari penampilan, tetapi juga pengetahuan budaya, kemampuan komunikasi, hingga kepedulian sosial.
“Kami mencari duta yang bisa bicara dengan cerdas, santun, dan membawa Bandung ke pentas dunia,” ungkap Adi.
Sebanyak 20 finalis (10 pasang) yang berusia antara 17 hingga 24 tahun bersaing ketat untuk memperebutkan posisi Mojang dan Jajaka terbaik.
Dalam penutupan acara, Adi menegaskan bahwa para pemenang bukan hanya simbol prestasi, tapi juga mitra strategis Pemerintah Kota Bandung.
“Mereka bukan pajangan. Mereka adalah agent of change — generasi payus tangtunganana, montekar mikirna, partentan basana, perceka loba kabisa,” katanya.
Bandung kembali membuktikan diri sebagai kota yang kreatif dan penuh warna. Namun di balik kemeriahan Pasanggiri Mojang Jajaka, ada pertanyaan yang belum terjawab: Apakah regenerasi budaya ini benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat?
Kegiatan seperti ini memang menonjolkan semangat positif, tapi seringkali hanya melibatkan kalangan tertentu mereka yang punya akses pendidikan, biaya, dan kesempatan tampil. Sementara banyak anak muda Bandung dari kampung dan pinggiran kota yang sama-sama punya bakat budaya, tidak pernah mendapatkan ruang atau panggung untuk bersinar.
Bandung dikenal sebagai kota dengan ribuan komunitas seni dan budaya rakyat dari pencak silat, jaipongan, hingga wayang golek, namun belum semua mendapat perhatian yang setara dengan acara glamor di hotel bintang empat.
RameNews menilai, jika regenerasi budaya ingin benar-benar hidup, keadilan akses harus menjadi bagian dari panggung itu sendiri. Duta budaya seharusnya lahir dari semua kalangan, bukan hanya mereka yang beruntung bisa tampil di pusat kota.
Karena sejatinya, kebudayaan Bandung tidak hanya memancar dari sorot lampu dan panggung mewah, tapi dari tangan-tangan rakyat yang setia menjaga tradisi di tanahnya sendiri. (yans)










Satu Komentar