Home / Berita Terkini / Jejak waktu / 12 September, Tragedi Berdarah di Tanjung Priok

12 September, Tragedi Berdarah di Tanjung Priok

RameNews, Jakarta – Malam 12 September 1984 menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Di kawasan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, ribuan warga turun ke jalan untuk memprotes perlakuan aparat terhadap tokoh dan masjid setempat. Namun aksi damai itu berubah jadi tragedi berdarah ketika aparat menembaki massa.

Awal Masalah: Pamflet dan Musala

Ketegangan bermula dari hal yang tampak sepele. Pada 7 September 1984, seorang Babinsa mendatangi Musala As-Sa’adah, Koja, dan meminta pengurus mencopot pamflet berisi jadwal pengajian. Warga merasa tersinggung, apalagi pamflet itu dianggap bagian dari dakwah.

Sehari kemudian, 8 September, suasana makin panas. Seorang oknum ABRI bernama Sertu Hermanu masuk ke musala tanpa melepas sepatu, menyiram dinding dengan air got, bahkan disebut menginjak Al-Qur’an. Warga marah besar hingga membakar motor miliknya.

Penangkapan yang Memicu Amarah

Pada 10 September, bentrokan kecil kembali terjadi. Dua takmir masjid dan dua warga ditangkap aparat setelah suasana makin keruh. Penahanan inilah yang jadi pemicu utama gelombang protes lebih besar.

Puncak Aksi 12 September

Tanggal 12 September 1984, ribuan orang menghadiri pengajian di Jalan Sindang Laut. Para mubalig menyuarakan kritik terhadap kebijakan Orde Baru dan menuntut pembebasan empat orang yang ditahan. Salah satu penceramah, Amir Baki, bahkan memberi ultimatum: tahanan harus dilepas sebelum tengah malam.

Baca juga: KPK Ungkap Permainan Kotor Korupsi Haji, Ini Modusnya

Usai pengajian, sekitar 1.500 orang bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil. Namun di tengah perjalanan, mereka diadang aparat. Menurut banyak saksi, pasukan kemudian melepaskan tembakan membabi buta ke arah massa.

Situasi berubah mencekam. Banyak korban berjatuhan, sebagian lain lari menyelamatkan diri. Rumah sakit sipil dilarang menerima korban, sehingga mereka yang terluka dibawa ke RS militer.

Korban: Versi Resmi vs Versi Korban

Data resmi Komnas HAM menyebut ada 24 orang tewas dan 55 luka-luka. Namun organisasi korban, seperti Solidaritas Nasional untuk Tanjung Priok (Sontak), memperkirakan jumlah korban mencapai 400 orang tewas dan 160 orang ditangkap tanpa prosedur hukum.

Selain penembakan, banyak laporan tentang penghilangan paksa, penyiksaan, hingga dugaan penguburan massal di lokasi rahasia.

Setelah Orde Baru Jatuh

Pasca-Reformasi, tekanan publik membuat kasus ini kembali dibuka. Komnas HAM membentuk tim penyelidik (KP3T) dan menemukan bukti pelanggaran HAM serius. Pada 2003, 14 perwira TNI/Polri aktif dan pensiunan diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.

Tonton juga: The Conjuring: Last Rites (Membosankan..)

Tahun 2012, Kejaksaan Agung memberikan kompensasi Rp 184 juta untuk masing-masing dari 103 keluarga korban yang diakui. Namun hingga kini, banyak pihak menilai keadilan belum benar-benar ditegakkan.

Peristiwa ini terjadi di tengah kondisi ekonomi sulit. Harga minyak dunia jatuh, pemerintah menaikkan harga BBM hingga 60 persen, inflasi melonjak, dan angka PHK meningkat tiga kali lipat. Beban hidup makin berat, sementara kritik terhadap kebijakan Orde Baru—termasuk asas tunggal Pancasila—semakin keras terdengar dari mimbar-mimbar masjid.

Tragedi Tanjung Priok 1984 pun tak bisa dilepaskan dari konteks itu: keresahan sosial, represi politik, dan gesekan antara masyarakat dengan aparat yang akhirnya berujung darah.

Tragedi Tanjung Priok 1984 tetap menjadi luka sejarah bangsa. Bukan hanya soal jumlah korban, tapi juga tentang kebebasan berpendapat yang pernah dibungkam dan hak-hak warga yang dilanggar. (yans/kmp/inl)

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *